Menurut catatan sejarah Cina kuno, San Guo Zhi, pada abad ke-3 Masehi, Pulau Jeju adalah sebuah kerajaan independen yang bernama Tamra. Pada saat itu Tamra sudah menjalin hubungan dagang dengan Tiga Negara Han di Semenanjung Korea. Dari abad ke-5 sampai 9, Tamra juga menjalin hubungan dagang dengan kerajaan Goguryeo, Silla, Dinasti Tang dan Jepang. Tahun 1105, Tamra diserap dalam teritori Dinasti Goryeo pada masa pemerintahan Raja Gojong
(bertahta 1215-1259) dan namanya diganti menjadi Jeju ("daerah").
Dengan masuknya Jeju dalam teritori Goryeo, sumber daya alam Jeju
diperas demi memberi upeti kepada istana sehingga beberapa kali rakyat
Jeju melakukan pemberontakan. Pada tahun 1270, Tiga Polisi Elit (Sambyeolcho) dibantu oleh rakyat Jeju memberontak pada pemerintahan setempat dan penguasa Mongol, namun berhasil dipatahkan.
Para penguasa Mongol memilih Jeju sebagai pangkalan untuk menyerbu ke Jepang. Di pulau ini mereka menternakkan kuda, membuat kapal perang dan mendirikan kuil Buddha bernama Beobhwasa. Pada periode Dinasti Joseon
(1392-1910), kaum penguasa memandang Jeju sebagai daerah perbatasan.
Rakyat di daratan utama umumnya menganggap Jeju sebagai tempat asing
dimana narapidana dibuang atau diasingkan. Pada abad ke-17, Raja Injo
bahkan membuat peraturan bahwa rakyat Jeju dilarang pergi ke daratan
utama. Peraturan ini bertahan hampir 200 tahun sampai dihapuskannya di
abad ke-19. Akibatnya, rakyat Jeju sangat terisolasi dari dunia luar.
Pada saat penjajahan Jepang, rakyat Jeju menderita kelaparan dan kemiskinan. Banyak di antara mereka pindah ke Osaka
pada tahun 1923. Selama periode penjajahan, warga Jeju berpartisipasi
dalam perlawanan terhadap kolonialisme. Perlawanan terbesar terjadi
antara tahun 1931-1932 di desa-desa nelayan di Kecamatan Gujwa dan Seongsan oleh para penyelam wanita (haenyeo).
Pergerakan ini adalah perlawanan terbesar yang pernah dilakukan oleh
wanita di Korea. Namun gerakan ini tidak menemui hasil. Setelah
penjajahan berakhir, Pulau Jeju berada di bawah pengawasan militer Amerika Serikat. Pada peringatan Pergerakan 1 Maret 1919 tahun 1947, terjadi insiden berdarah yang disebabkan oleh penembakan polisi. Warga Jeju merespon insiden itu dengan mengadakan demonstrasi besar-besaran namun diredam oleh militer Amerika Serikat dengan penangkapan dan pembantaian.
Insiden ini memicu resistensi warga Jeju, terutama dari kaum pemuda yang mulai memberontak dan membangun pertahanan di kaki Gunung Halla. Kelompok ini menolak pembentukan Republik Korea
yang dijadwalkan tanggal 10 Mei 1948. Pada tanggal 3 April 1948 mereka
menyerang 11 pos polisi di seluruh pulau. Peristiwa ini menandai
dimulainya Insiden Tiga April
di Pulau Jeju. Setelah penyerangan tersebut, militer Amerika Serikat
turun tangan dibantu tentara nasional dalam upaya pembersihan terhadap
para pemberontak yang dianggap sebagai simpatisan komunis dengan cara
membakar desa-desa di kawasan pegunungan. Upaya pembersihan berlanjut
menjadi genosida mulai bulan Agustus 1948 sampai tahun 1949 yang
membunuh ribuan orang.
Source
Sabtu, 26 Januari 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar